72 TAHUN yang lalu, tepatnya di malam Jum’at, 15 September 1954 terjadi peristiwa yang menggemparkan di Amuntai Kalimantan Selatan. Seberkas cahaya keluar dari makam KH. Muhammad Chalid, ayah dari Dr. KH. Idham Chalid (Ketua Umum PBNU 1956-1984).
Sinar cahaya itu keluar dari bagian kepala almarhum berbentuk seperti kembang di tanjung (Mimusops elengi L) naik kira-kira 5 meter, membesar lalu bergerak ke tengah dan cahayanya seolah masuk ke daerah mata. Suasana pun gelap kembali karena ratusan orang yang berkerumunan itu tidak ada yang pasang lampu. Semuanya mengatakan Subhanallah, Allahu akbar dan membaca doa. Sekitar 10 menit kemudian peristiwa berulang kembali hingga menjelang subuh, terasa sebagai suatu keajaiban. Memang, dalam soal beribadat Pak Idham merasa kalah jauh dengan ayahnya.
KH. Chalid orang yang mengerjakan thariqat. Selama di Singapura beliau juga belajar thariqat rohaniyah, juga ahli dalam bela diri yang banyak mempergunakan tenaga dalam. Kata orang-orang tua yang pernah bersama beliau di Singapura, hanya dengan kipas saja lawan sudah terpelanting.
Peristiwa aneh itu diceritakan KH. Idham Chalid kepada Emak beliau (meninggal 20 tahun sesudah wafat sang suami, 1974). Orang-orang tua mengatakan itu tidak aneh. Di kuburan salah seorang guru dari KH. Chalid yang meninggal 30 tahun sebelumnya juga demikian. Kalau gejala alam mengapa orang lain yang dimakamkan di sekitarnya tidak demikian. Kenapa pula cahaya itu diatur waktunya seperti dari kepala lantas turun. Fenomena itu sampai diliput oleh surat kabar Kalimantan.
Emak lalu menyampaikan wasiat ayah kepada anak-anaknya. “Kasih tahu nanti kepada anak-anak kalau saya meninggal dunia. Pertama, kalau dia melihat sesuatu yang ajaib harap jangan mengagung-agungkannya. Itu hanya salah satu pertanda kebesaran Allah, rahmat dan maghfirahnya untuk menjadi teladan buat anak-anakku. Kedua, jangan sampai anak cucuku itu nanti hidup dari kuburanku. Jangan dibuatkan kubah, kubah yang dikeramatkan. Saya tidak izinkan. Salama 1-2 tahun, untuk menjadi tanda atau maesan carilah batu atau kayu tempat orang berpijak kalau mau berwudhu untuk ke masjid atau ke surau. Kalau sudah lama, itu silahkan kalau mau diganti, kubah sama sekali tidak boleh!” demikian bunyi wasiat ayah Pak Idham yang dipesankan kepada Emak.
Emak sendiri tidak paham apa maksud pesan itu. Pesan itu disampaikan KH. Idham kepada ponakannya KH. Zuhri Sulaiman. Barulah kemudian mereka mengatur agar orang-orang tidak mendekat ke kuburan, cukup melihat dari jauh. Peristiwa ajaib itu tidak hanya terjadi pada malam Jum’at itu melainkan setiap malam Jum’at selama enam bulan, terus menerus. Setiap malam Jum’at banyak orang datang, ada juga yang melihat dari seberang sungai. Terlihat jelas cahaya itu. Wallahu a’lam gejala apa ini.
Mudah-mudahan itu semua tanda rahmat Allah yang menunjukkan, bagaimana seseorang yang senantiasa memohon rahmat dan sujud kepada-Nya diberikan tanda-tanda. Sekurang-kurangnya petunjuk buat anak-anak beliau agar betul-betul memegang ajaran agama dan doa-doa yang beliau amalkan.
Setelah KH. Idham kembali ke Jakarta, beliau menanyakan peristiwa itu kepada salah seorang ulama. Ulama itu menjawab, “mungkin ayahmu itu selain selalu wirid macam-macam juga mengamalkan surat an-Nur. Allahu nur as-Samawati wa al-ardli matsalu nurihi kamisykatin fiha misbah”.
KH. Idham tersadar, sejak ia berusia 7 tahun, ayah beliau memang mengamalkan bacaan itu dan surah Yasin setiap usai sholat subuh. Beliau juga mengamalkan ayat 7, selain membaca Alquran, Yasin, dan sebagainya, dan paling sering membaca istighfar.
Ayah beliau selalu bangun jam setengah empat subuh dan sholat tahajud. Setelah subuh baca wirid hingga sekitar jam setengah enam baru berdiri. Beliau melaksanakannya secara istiqamah dan selalu memelihara sholat di awal waktu.
Demikian satu keanehan yang harus dicantumkan. Kalau tidak dicantumkan, kata KH. Idham, nanti orang yang tahu akan mengatakan bahwa KH. Idham belum seluruhnya menceritakan tentang soal pribadi beliau. Akan tetapi, KH. Idham berharap, agar cerita ini tidak usah/tidak boleh disiarkan selama KH. Idham masih hidup.
Sumber: pesantren.id