Eksotisme Bunguh, desa Pilihan Kiai Kelana
Desa Bunguh menurut orang Sulawesi berarti kelapa. Desa yang sekarang dikenal dengan Bungah itu dulu bernama Bunguh atau Bongo. Di sana ada eksotisme spiritual. Di sana ada kharisma. Di sana ada daya tarik yang dipancarkan. Sungguh ini adalah anugerah yang ditebarkan ke bumi Bungah. Karena dua waliyullah yang berkelana itu telah menghentikan perjalanannya di desa ini sebagai basecamp terakhirnya.
Mbah Kiai Gede yang dikabarkan pernah menjadi santri Sunan Ampel singgah di banyak tempat untuk berdakwah sekaligus menjajakan barang dagangannya, berupa bunguh atau kelapa dari Gorontalo, Sulteng. Berlabuh dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya desa Ngampel, yang terletak di sisi selatan bengawan Solo, dipilih sebagai pusat dakwahnya.
Santri yang mengikuti pengajiannya cukup banyak. Namun, daerah itu ditinggal dan memindahkan gerakan dakwahnya ke Bunguh, desa di sisi utara bengawan Solo. Ilmunya diajarkan lewat masjid yang dibangun sekitar tahun 1.400-an. Di samping masjid teretua di kawasan pantai utara Gresik ini, jasad Mbah Kiai Gede Bunguh disemayamkan.
Setelah tiga ratus tahun kemudian atau sekitar 1770-an, datanglah Mbah Kiai Qomaruddin, kiai kelana kedua yang memilih Bungah sebagai basecamp terakhirnya. Dua desa sebelumnya telah disinggahi. Pesantren yang didirikan di dua desa itu; Kanugrahan, Lamongan dan desa Morobakung, Gresik sudah banyak didatangi santri untuk ngaji.
Tetapi batin Mbah Qomaruddin belum mantul, mantap betul di tempat tersebut. Desa Bunguh yang terletak di sisi utara bengawan Solo akhirnya dipilih sebagai tempat pesantrennya yang bermasa depan. Lokasinya tersedia air cukup bagus, dekat pasar, dekat jalan raya, dikelilingi hutan dan dekat dengan pusat pemerintahan. Dan ada masjid Gede peninggalan Mbah Kiai Gede Bunguh.
Berkah dua waliyullah itu, pesantren yang didirikan Mbah Kiai Qomaruddin tumbuh besar. Dalam usianya yang lebih dari 200 tahun, sudah banyak melahirkan kiai. Bungah pun menjadi gudangnya kiai, baik yang berasal dari keluarga dalem maupun dari santri-santrinya sendiri. Kiai-kiai itu sudah menyebar ke mana-mana tetapi tetap dalam tali ikatan kuat keluarga Qomaruddin.
Eksotiknya, ilmu kiai-kiai Qomaruddin sangat beragam. Ada kiai yang ahli fiqih, karena sejak awal pesantren Qomaruddin memusatkan studinya di bidang fiqih. Ada juga kiai ahli tafsir dan hadits, begitu pun kiai yang menguasai bidang ilmu falaq dan ilmu tasawuf.
Kiai ilmu kanuragan, juga sewajarnya dimiliki karena sejak awal Mbah Qomaruddin juga mengajarkan santrinya ilmu kedigdayaan. Kiai Qomaruddin pun ada yang terjun menjadi pejuang kemerdekaan RI. Di samping itu, ada juga kiai yang konon kabarnya memiliki santri bukan dari jenis manusia.
Pondok Qomaruddin selain melahirkan kiai-kiai tabarukan juga berderet-deret kiai-kiai akademik yang intelektual dan saintis. Uniknya, ratusan kiai yang telah dilahirkannya itu, walaupun berada di tempat berjauhan tali silaturrahimnya terjalin kuat. Bahkan untuk menjadi pengasuh pesantren bisa dipilih dari keluarga yang berdomisili di luar pesantren.
Kedua kiai kelana; Mbah Kiai Gede dan Mbah Kiai Qomaruddin, memilih tempat yang tepat tidak berdasarkan kalkulasi akal sehat semata. Sebab, kedua kiai besar itu juga menggunakan kedekatan spiritual yang dianugrahkan kepada keduanya .
Salat Tarawih di masjid peninggalan Mbah Kiai Gede menjadi mediasi untuk menjelajahi ruang-ruang keberkahan yang ditinggalkan para masyayikh. Dan hadirnya Kiai Kelana itu mengispirasi bahwa, diri kita, jiwa kita, nafas kita selalu ada di tempat yang persisi. Dimana itu? ‘’Berkelanalah sampai hatimu, jiwamu, nalarmu, jasadmu berhenti pada suatu tempat yang kamu harus menerima taqdirmu; baik buruknya.’’ Begitu sekilas info yang diterima.***
Penulis : Nur Fakih